HONG KONG, TIONGKOK — Melemahnya prospek pertumbuhan di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan India, serta lambatnya pemulihan di sejumlah perekonomian industri utama, secara bersamaan akan menahan pertumbuhan kawasan Asia berkembang pada 2015 dan 2016 hingga berada di bawah proyeksi sebelumnya, demikian penjelasan sebuah laporan baru dari Asian Development Bank (ADB).
Dalam publikasi ekonomi tahunan Asian Development Outlook 2015 Update, ADB kini berpandangan bahwa pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) di kawasan ini akan sebesar 5,8% pada 2015 dan 6,0% pada 2016, lebih rendah dari prakiraan bulan Maret lalu yaitu sebesar 6,3% untuk kedua tahun tersebut.
“Meskipun mengalami perlambatan, kawasan Asia berkembang diperkirakan masih menjadi kawasan dengan kontribusi terbesar bagi pertumbuhan dunia,” kata Shang-Jin Wei, Chief Economist ADB. “Meski demikian, ada sejumlah hambatan yang terus mengancam, seperti tekanan mata uang dan kekhawatiran mengenai arus modal keluar.”
“Agar dapat bertahan dari fluktuasi tingkat suku bunga internasional dan guncangan keuangan lain, perlu diterapkan aturan kehati-hatian makro, yang bagi beberapa negara mungkin mencakup manajemen aliran modal seperti membatasi ketergantungan terhadap pinjaman dalam mata uang asing,” ujarnya.
Pertumbuhan di sejumlah perekonomian industri diperkirakan melambat ke 1,9% pada 2015, turun dari prakiraan 2,2% pada Maret. Hal ini seiring dengan masih lemahnya konsumsi dan investasi, meskipun ada tanda-tanda positif seperti peningkatan prospek kawasan Euro dan terus bertumbuhnya Amerika Serikat.
RRT - ekonomi terbesar kedua di dunia - mengalami perlambatan pertumbuhan karena menurunnya investasi dan lemahnya ekspor pada 8 bulan pertama 2015. Pertumbuhannya kini diperkirakan sebesar 6,8% pada 2015, turun dari proyeksi terdahulu sebesar 7,2%, dan di bawah capaian tahun 2014 sebesar 7,3%. Sedangkan di India, lemahnya permintaan eksternal dan reformasi penting yang berjalan lebih lambat dari yang diperkirakan menjadi kendala bagi percepatan pertumbuhannya, yang kini diperkirakan sebesar 7,4% pada 2015, turun dari prakiraan 7,8% sebelumnya.
Kawasan Asia Tenggara memikul beban terberat akibat perlemahan di RRT yang merupakan pasar utamanya, serta permintaan dari negara-negara industri yang belum juga membaik, sehingga pertumbuhan pada 2015 hanya 4,4%, sebelum naik lagi ke 4,9% pada 2016.
Harga komoditas dunia yang melemah, termasuk minyak dan pangan, menyebabkan rendahnya tekanan harga, dengan inflasi regional yang diproyeksikan menurun ke 2,3% pada 2015 dari sebelumnya 3,0% pada 2014, meskipun peningkatan inflasi diperkirakan akan terjadi pada 2016. Arus modal keluar netto dari pasar di kawasan Asia berkembang meningkat dengan cepat pada paruh pertama 2015, melebihi $125 miliar pada kuartal pertama, dan masih menjadi perhatian para investor sebagai antisipasi naiknya suku bunga Amerika Serikat tak lama lagi. Konsekuensinya, premium bagi risiko bagi kawasan ini terus meningkat dan nilai tukar mata uangnya terus melemah, sehingga dapat semakin menghambat momentum pertumbuhan.
Penguatan dolar Amerika Serikat menjadi ancaman bagi perusahaan Asia yang memiliki paparan besar terhadap mata uang asing. Data menunjukkan bahwa porsi utang dalam mata uang asing di antara berbagai perusahaan Indonesia, Viet Nam dan Sri Lanka mencapai lebih dari 65%. Selain itu, menurunnya minat RRT terhadap energi, logam dan komoditas lainnya, serta lemahnya harga komoditas dunia, menimbulkan kekhawatiran bagi sejumlah negara di kawasan Asia yang sedang berkembang, yang perekonomiannya berfokus pada ekspor komoditas, termasuk Azerbaijan, Brunei Darussalam, Indonesia, Kazakhstan dan Mongolia.
Untuk mengatasi dampak kenaikan suku bunga Amerika Serikat, otoritas kebijakan keuangan di kawasan Asia berkembang perlu mencari keseimbangan antara upaya menstabilkan sektor keuangan dan langkah-langkah untuk mendorong permintaan domestik, tulis ADO 2015 Update. Langkah-langkah lanjutan guna membangun pasar keuangan dalam negeri yang likuid dan berkembang dengan baik, dapat membantu mengurangi ketergantungan sektor swasta terhadap pinjaman dalam mata uang asing.
ADB, yang berbasis di Manila, dikhususkan untuk mengurangi kemiskinan di Asia-Pasifik melalui pertumbuhan ekonomi yang inklusif, pertumbuhan yang menjaga kelestarian lingkungan hidup, dan integrasi kawasan. Didirikan pada 1966, ADB dimiliki oleh 67 anggota—48 di antara berada di kawasan Asia-Pasifik termasuk Indonesia. Pada 2014, keseluruhan bantuan ADB mencapai $22,9 miliar, termasuk pembiayaan bersama (cofinancing) senilai $9,2 miliar.